Oleh Kadarisman
Pemerhati Politik Banua
Milenial sejatinya bukan merupakan sumber kekuasaan, sehingga tidak berpengaruh banyak dalam harapan partai politik mendongkrak perolehan suara dalam pemilihan anggota Legislatif.
Hal yang dapat mempengaruhi bukan karena milenialnya, tapi sumber kekuasaan yang melekat di belakang kemillenialan nya, seperti misal, dia pengusaha muda, anak orang kaya, anak penguasa, atau figurnya memang populer atau yang dijadikan role model bagi kalangan milenial.
Tanpa sumber kekuasaan yang melekat di balik kemilinealan tersebut tidak akan mengangkat suara partai. Milenial hanya akan menjadi pemain figuran sebagai pelengkap semata.
Kelompok milenial di Tabalong sendiri belum teruji. Beberapa orang millenial yang masuk saat ini duduk di DPRD Tabalong gagal merepresentasikan dirinya sebagai wakil rakyat yang milenial.
Kalian cari sendirilah, anggota DPRD yang kelahirannya di rentang 1981-1995 yang saat ini duduk di legislatif, apa pernah mendengar suaranya memihak rakyat?
Jadi ada resiko juga memilih kalangan milenial. Resikonya karena letarasi politik mereka yang karbitan. Rata-rata mereka masuk ke kancah politik praktis hanya ikut tren semata atau pelengkap saja, sehingga tidak memiliki konsep – konsep politik yang hendak dikontribusikan buat kebaikan masyarakat.
Kondisi itu sebenarnya tantangan milenial untuk meningkatkan kapasitas dan kapabilitasnya dalam tujuan tujuan berpolitik. Politik bukan ladang pekerjaan, tetapi ladang tempur agar melahirkan legislasi kebijakan bersama-sama pemerintah yang berhikmat untuk rakyat.
Apalagi figur milenial yang didapuk parpol adalah dari kalangan hawa, itu hanya sebagai memenuhi kuota 30 persen keterwakilan perempuan saja.
Parpol pun sebenarnya tidak serius mengusung kaum perempuan. Buktinya 30 persen kuota perempuan itu rata-rata tidak menempati posisi nomor urut 1, tapi nomor urut di bawah itu. (*)