TANJUNG, kontrasonline.com – Jeli dalam meliat peluang, Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Tunas Jaya desa Usih kecamatan Bintang Ara membuka usaha produksi tusuk sate dari bambu dengan memanfaatkan potensi alam sekitar.
Ketua BUMDes Tunas Jaya, Syahrul mengatakan mereka sudah mempunyai mesin pengolah tusuk sate.
“Kita sudah beli dan sudah mulai beroperasi” ujarnya pada kontrasonline.com di kantor desa Usih baru – baru ini.
Mesin yang mereka miliki mampu memproduksi sekitar 10 kg tusuk sate perhari.
“Sejauh ini kami tidak maksimal mengoperasikannya. Disamping masih sambil belajar, dalam satu hari kami hanya mengoperasikan mesin sekitar 4 jam saja, dari pukul satu hingga pukul lima sore karena kami juga harus bekerja memenuhi kebutuhan hidup. Hasil produksi hanya sekitar 4 kg saja” bebernya.
Satu kilogram, lanjutnya, bisa untuk enam bungkus. “Satu bungkusnya dijual Rp 3.000” imbuhnya.
Bahan baku berupa bambu mereka dapatkan dari warga desa Usih sendiri. “Bambu milik warga kami beli, satu pohon bambu (jenis Haur) panjang 6 meter dengan diameter sekitar 4 in harganya Rp 5.000, kalau bambu jenis Batung harganya Rp 10. 000” terang pria lajang ini lagi.
“Kita ingin warga merasakan manfaat secara langsung atas keberadaan BUMDes” tandasnya.
Jefri, Kaur keuangan desa menambahkan kalau bahan baku di Usih tersedia secara melimpah.
“Kalau skala produksi masih kecil insyaallah saja masih banyak stoknya, kalaupun habis di desa tetangga bambunya masih banyak” timpalnya.
Tanpa bahan kimia, tusuk satu jadi cepat dimakan bubuk
Kendala yang pihaknya hadapi adalah daya tahan tusuk sate yang tidak bisa tahan lama.
“Kami tidak memakai bahan kimia apapun sebagai pengawet, tusuk sate kami hanya mampu bertahan selama satu bulan, selebihnya dimakan bubuk (sejenis binatang kecil pemakan kayu yang menyebabkan bambu menjadi lapuk – red)” ucap syahrul lirih.
Pihaknya juga sudah pernah memasok tusuk sate hasil produksi mereka pada agen.
“Sebenarnya agen senang dan mendukung usaha kita, tapi ya faktor cepat rusak ini yang menjadi kendalanya” tambahnya.
Mereka masih “mikir – mikir” untuk menggunakan bahan kimia untuk mengawetkan tusuk satenya.
“Kalau menggunakan pengawet kimia tentunya bisa bertahan lama, namun dampaknya bagi kesehatan tentu tidak bagus, apalagi tusuk sate ini kebanyakan digunakan sebagai alat pelengkap makanan” ucapnya masygul.
Berbagai eksperimen mereka coba supaya tusuk satenya bisa bertahan lama, mulai dari pemakaian garam hingga pengasapan.

“Cara tersebut membuat tusuk sate berubah warna, tidak putih lagi, produk jadi tidak menarik” keluhnya.
Alternatif lain yang mereka ikhtiarkan adalah dengan meningkatkan kadar kekeringan tusuk sate.
“Kami baru membeli peralatan berupa oven, tapi masih belum sempat mencoba lagi, mudah – mudahan saja cara ini bisa jadi solusi” katanya.
Milenial ini berharap suatu saat nanti mereka bisa menjadi salah satu pemasok tusuk sate besar di Bumi saraba Kawa.
“Kita ingin usaha ini tumbuh berkembang sehingga bisa menggerakkan ekonomi lokal di Tabalong, khususnya bagi warga desa Usih sendiri” harapnya.
Disisi lain, pria berusia 28 tahun ini juga berharap agar pemerintah daerah lewat instansi terkait bisa membantu sekaligus membina usaha yang coba mereka rintis.
“Mudah – mudahan akan ada perhatian dari dinas terkait” pungkasnya.(Boel)