- PERTANIAN INDONESIA ZAMAN PRA SEJARAH
Kegiatan pertanian pada masa prasejarah dimulai pada pembabakan masa Neolitik dikaitkan dengan pendukung budaya Austronesia . Walaupun pada masa Mesolitik (batu pertengahan) pertanian sudah ada, kegiatannya masih sebatas berburu dan mengumpulkan makanan, sedangkan pada masa Neolitik sudah melakukan kegiatan bercocok tanam. Budaya Austronesia menyebar ke wilayah Indonesia pada 4.000-3.500 Sebelum Masehi (SM). Ini diindikasikan dari temuan budaya Austronesia di Situs Loyang Ujung Karang, Aceh Tengah, dan di Situs Minanga Sipakko, Sulawesi Barat.
Berdasarkan hasil penelitian, masa prasejarah di Indonesia terbagi ke dalam empat masa, yaitu masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat sederhana, masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat lanjut, masa bercocok tanam, dan masa perundagian. Pada masa berburu dan mengumpulkan makanan (tingkat sederhana dan lanjut), sistem hidup manusia saat itu (manusia purba) hanya berburu dan meramu. Ada dua hal penting yang digunakan pada masa itu yaitu alat-alat/perkakas dan api. Alat-alat/perkakas yang digunakan untuk berburu dan mengumpulkan makanan terbuat dari batu, kayu, tulang, tanduk, dan kerang. Sementara api digunakan untuk memanaskan makanan, mencegah serangan binatang buas, dan sebagai sumber penerangan pada saat melakukan kegiatan di malam hari.
Pada masa berburu dan mengumpulkan makanan (tingkat sederhana dan lanjut), untuk memperoleh makanan manusia prasejarah hanya mengandalkan tanaman dan hewan yang disediakan oleh alam. Mereka belum melakukan kegiatan budi daya. Hidupnya nomaden, bergantung pada ketersediaan pangan di alam. Seiring makin berkembangnya masyarakat dan peradaban, mulai ada kegiatan budi daya pertanian dan peternakan, masyarakat mulai berpikir cara memenuhi kehidupan dasar (pangan) tanpa bergantung pada alam. Masa ini disebut dengan masa bercocok tanam. Pada masa itu, manusia prasejarah mulai memanfaatkan hutan dengan menebang dan membakar pohon, lalu dikembangkan menjadi ladang untuk melakukan kegiatan budi daya tanaman dan ternak. Cara hidup masyarakatnya pun mulai menetap sehingga mulai terbentuk perkampungan-perkampungan. Lingkungan yang dijadikan sebagai tempat tinggal bukanlah lingkungan asal. Mereka memilihnya dengan memperhatikan keadaan topografi , iklim, dan potensi pertanian. Karena pemenuhan pangannya mulai teratur, alat-alat/perkakas yang ditemukan pun berbeda dibandingkan dengan pada masa sebelumnya. Alat batu yang ditemukan berupa beliung dan yang paling banyak adalah beliung persegi.
Pada masa bercocok tanam, manusia prasejarah telah menghasilkan beberapa komoditas pertanian, yaitu keladi, sukun, uwi, pohon rumbia (sagu), pisang, durian, manggis, rambutan, duku, salak, kelapa, labu air, jawawut, dan padi gogo. Untuk yang berupa biji-bijian kemungkinan mereka tidak menanamnya dalam lubang tanam, melainkan menebarkannya langsung di atas tanah karena belum mengenal cara menanam biji atau benih. Mereka hanya menanam batang yang telah dipotong (Poesponegoro dan Notosusanto 1984). Untuk kebutuhan protein hewaninya, mereka memperolehnya dari berburu, dan hewan buruannya diperkirakan adalah babi hutan, sapi, ayam, kijang, dan ikan. Pada masa ini mereka sudah mengenal padi, tetapi belum menjadi pangan utama. Dalam kajian ilmiah Soedewo, berdasarkan data arkeologis, padi telah dibudidayakan di Asia sejak masa neolitikum, yakni antara 7.000-5.000 SM. Masyarakat pada masa bercocok tanam diperkirakan sudah mengenal irigasi karena untuk menanam keladi (pangan pokok pada masa itu) dibutuhkan air yang tidak sedikit. Mereka membuat pematang-pematang atau undag-undagan (daerah dataran tinggi) yang dilengkapi dengan saluran air. umbi-umbian menjadi makanan pokok masyarakat prasejarah karena memiliki berbagai keunggulan, yakni dapat tumbuh pada kondisi tanah yang subur maupun kurang subur. Tidak hanya itu, umbi-umbian lebih tahan penyakit dan masa panennya cepat. Pengolahannya pun relatif mudah, dapat langsung dibakar atau direbus. Perkakas yang digunakan sangat sederhana, hanya dengan menggunakan sudip.
Masa perundagian adalah masa manusia prasejarah mulai mengenal logam. Nekara adalah alat dari logam yang bentuknya seperti kendang besar. Untuk yang lebih kecil dinamakan moko. Nekara digunakan sebagai alat upacara yang salah satu fungsinya untuk mendatangkan hujan. Oleh karena itu, di beberapa nekara, hiasan di bidang pukulnya terdapat patung katak kecil yang merupakan hewan yang dipercaya dapat mendatangkan hujan. Selain itu, di beberapa nekara ukirannya meng gambarkan sekelompok orang sedang menumbuk padi di lesung dan di kolong rumahnya yang bertonggak (seperti rumah panggung) terdapat babi, ayam, dan anjing. Adanya corak tersebut menandakan bahwa kegiatan pertanian sangat penting, apalagi dibuatkan alat upacara pemanggil hujan yang artinya hujan (air) merupakan sumber kehidupan, terutama untuk kegiatan bercocok tanam.
- PERTANIAN INDONESIA ZAMAN KERAJAAN HINDU-BUDDHA
Di Jawa, kerajaan tertua dengan corak Hindu-Buddha adalah Kerajaan Tarumanegara. Di salah satu bukti arkeologinya, yakni Prasasti Tugu yang ditemukan di Jakarta, terdapat kalimat bahwa Raja Purnawarman (raja Kerajaan Tarumanegara) telah memberikan 1.000 ekor sapi kepada pendeta (Brahmana).
Hal yang menarik di Prasasti Tugu adalah Sang Raja telah membuat dua aliran sungai yang diperkirakan untuk mengatasi banjir kala itu. Berdasarkan hasil penelitian, Prasasti Tugu memuat penanggalan yang apabila ditafsirkan, raja membuat dua aliran sungai pada bulan Januari dan Februari, yang merupakan puncak musim hujan dan sering terjadi banjir. Prasasti Tugu menandakan ada campur tangan seorang raja dalam bidang pertanian, terutama yang berhubungan dengan pembuatan bendungan, pengendalian air sungai, dan irigasi. Kebijakan seperti ini juga ditemukan dalam prasasti setelah era Tarumanegara (kerajaan di Jawa Tengah dan Jawa Timur), yakni Prasasti Harinjing (921 M), Prasasti Bakalan (934 M), Prasasti Kamalgyan (1037 M), dan Prasasti Kandangan (1272 M).