Komisi Pemberantasan Korupsi sempat menjadi sebuah lembaga independen yang ditakuti oleh para politisi. Berbagai usaha dilakukan untuk melemahkan baik dari aturan maupun serangan langsung kepada para punggawa KPK. Tahun 2001-2014 itu ada beberapa kecenderungan bahwa KPK ini memang sudah disebut overbody, karena sebagian pihak terutama politisi dan pihak-pihak yang terkait dengan persoalan korupsi selalu mengatakan ini lembaga yang tidak bisa dikontrol. Banyaknya Perdebatan politik hukum di Indonesia terkait dengan menafsirkan institusi KPK paling tidak kita bisa melihat dari dua tafsir besar. Pertama KPK ditempatkan sebagai lembaga pelaksana fungsi negara atau KPK menerima tugas pemerintahan. KPK tidak boleh menjadi lembaga independen, artinya ia menjadi bagian lembaga presidensial. Pasalnya dalam konsep pemerintahan presidensial terjadi unitary executive (kekuasaan terpusat). Tafsir tersebut digunakan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) yang kemudian mengkualifikasikan KPK sebagai eksekutif melalui putusan MK No.36/PUU-XV/2017. bila dilihat pada perjalanan Reformasi, amandemen UUD 1945, sebagian mengoreksi tipe atau model kekuasaan presiden yang tidak tak terbatas. Tafsir kedua yang berlaku sebelumnya, yakni KPK merupakan lembaga yang independen bahkan disebut sebagai cabang keempat dari trias politika. Seharusnya KPK tidak menjadi bagian Eksekutif, Legislatif, atau Yudikatif, tapi dia menjadi lembaga tersendiri sehingga kekuasaan presiden terdesentralisasi, tidak mengumpul pada satu tangan separation of power.
KPK diartikan sebagai lembaga negara yang tanggung jawabnya konstitusional, bukan tanggung jawab dari bagian pemerintahan. Terkait gejala pelemahan KPK, Ada pembagian periode paradigma KPK, di mana pada rentang 2002-2017 KPK sebagai Institusi Independen sementara periode 2019-2021 KPK merupakan bagian dari Pemerintah. Paradigma KPK merupakan lembaga ‘super body’. Hal ini berdasarkan UU No.30 Tahun 2022 tentang KPK. Selain itu korupsi digolongkan sebagai kejahatan luar biasa, maka dibutuhkan lembaga yang kuat untuk memberantasnya. Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. tulis UU No.30 Tahun 2002 pasal 3 terkait independensi KPK.
Ada beberapa faktor yang bisa dilihat dari KPK yang sekarang apakah semakin kuat atau semakin melemah dari adanya perubahan revisi UU KPK Tahun 2019 dan pergantian pemimpin KPK yang baru. Dari yang pertama yang diduga dari revisi UU KPK yang baru Tahun 2019 membuat menurunnya IPK Indonesia dalam pemberantasan Korupsi, menurut ransparency International Indonesia baru saja mengumumkan Indeks Persepsi Korupsi atau IPK Indonesia turun menjadi 37 pada 2020 dari tahun sebelumnya 40. Melihat Kecenderungan apakah KPK mendapatkan penguatan atau pelemahan dari setiap rezim. Dapat dilihat dalam konteks Undang-Undang yang mengatur tentang KPK. Keputusan ketua KPK yang baru Firli Bahuri dalam pengadaan Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) yang menimpa 75 anggota Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang sampai saat ini menjadi polemik, bukan hanya membuat pegawai KPK menjadi ASN yang jelas membuat seluruh badan internak KPK sudah tidak Independent lagi, ada juga beberapa pertanyaan yang di rasa tidak pantas untuk di ajukan dimana harus memilih antara AL-Qur’an dan Pancasila, bahkan dalam salah satu acara di TV swasta mengaku sebagai mantan pegawai KPK dia di tandai dalam buku merah yang harus di singkirkan di dalam KPK yang artinya Tes Wawancara Kebangsaan sengaja dibuat untuk menyingkirkan orang-orang yang dirasa mengancam.
Seiring berkembangnya waktu, KPK mengalami pelemahan di korupsi secara terang-terangan. Nampak dari beberapa kasus yang sempat membelit KPK, di antaranya pada 2009 silam saat terjadi pemberhentian sementara Ketua KPK Antasari Azhar serta tindakan sebagian besar anggota Komisi III DPR periode 2004-2009 yang meminta KPK untuk cuti penyidikan dan penuntutan. Belum lagi kasus Cicak vs Buaya, kriminalisasi pemimpin KPK (Bibit Samad Rianto dan Chandra Hamzah), sejumlah aksi kekerasan terhadap Novel Baswedan, serta kasus kekalahan KPK atas Budi Gunawan.Memasuki tahun 2019, KPK kemudian mengalami pengkroposan lembaga yang di korupsi secara legalitas. Banyak pihak yang menyebut KPK tidak bisa dijadikan sebagai lembaga independen murni yang kemudian tidak bisa dikontrol oleh siapa pun. Oleh karena itu kemudian muncul re-desain dari upaya untuk re-organisasi KPK sehingga diarahkan menjadi bagian dari pemerintah. Maka paradigma yang muncul adalah KPK harus dikontrol. Dari paradigma KPK tersebut kemudian muncul sejumlah konteks. Salah satunya adalah intervensi dalam pembentukan tim seleksi, hasil dari pimpinan KPK sekarang adalah bagian dari proses intervensi kepentingan-kepentingan di luar KPK. Terdapat perubahan model kepemimpinan KPK yang baru. Dahulu kepemimpinan KPK dikonseptualisasikan kolektif kolegial di mana keputusan diambil secara kolektif, bila melihat peristiwa-peristiwa terakhir sejak perubahan UU No.19 Tahun 2019 itu terjadi itu model (berbeda), bahkan terkesan muncul konflik kepemimpinan di dalam KPK. Dirilisnya UU No.19 tahun 2019 yang kala itu dibuat secara cepat dan kilat meski muncul banyak kritik dan menimbulkan kegaduhan politik. UU No.19 tahun 2019 adalah bagian awal tindak korupsi yang dilakukan oleh pemerintah secara terang-terangan, untuk mengubah atau mengontrol KPK sebagai sebuah organisasi, selain dia dimasukkan sebagai bagian dari Pemerintah. Tujuannya nanti cukup jelas apakah akan menimbulkan pelemahan atau penguatan. Termasuk di dalam konteks desain itu adalah alih status pegawai KPK, bahwa mengubah status pegawai KPK menjadi ASN akan menimbulkan masalah. Sistem organisasi KPK selama ini terbilang jauh lebih efektif dibandingkan dengan model kerja birokrasi ASN. Beberapa kasus yang muncul seperti kasus SP3, lolosnya koruptor dalam kasus BLBI, serta kasus-kasus kekalahan KPK dalam pengusutan tindak pidana korupsi. Ini adalah bagian dari seluruh proses agar rekonstruksi, reorganisasi KPK pada rentang waktu 2017 hingga sekarang itu prinsipnya atau paradigmanya bisa dikontrol oleh pemerintah. Bersikap seolah semuanya sudah terjadi dan hanya diam melihat lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dikorupsi secara jelas, karena takut di anggap melawan pemerinta malah akan memperburuk situasi sekarang dan kedepannya nanti, pada akhirnya pemerintah akan menjadi jauh lebih leluasa bertindak secara otoriter di atas sistem demokrasi. Menjadi pihak oposisi itu wajib agar terciptanya check and balance dari sistem demokrasi yang dianut Indonesia, mungkin berat tapi kalau bukan di awali dari kita lalu siapa lagi, hanya diam melihat sistem yang di biarkan semakin lama semakin rusak yang sudah tidak berpihak pada masyarakat.