Korupsi di Indonesia sudah membudaya sejak jaman dulu, sebelum dan sesudah kemerdekaan, di era Orde lama, orde baru, berkelanjut hingga era Reformasi. Berbagai upaya telah dilakukan untuk memberantas korupsi, namun hasilnya masih jauh panggang dari api. Perioditas korupsi di Indonesia secara umum dapat di bagi menjadi dua, yaitu pra kemerdekaan dan pasca kemerdekaan.
Budaya-tradisi korupsi yang tiada henti karena di dorong oleh motif kekuasaan, kekayaan dan wanita, contoh perebutan kekuasaan di Kerajaan Singosari (sampai tujuh keturunan saling membalas dendam berebut kekuasaan, anusopati-Tohjoyo-Ranggawuni-Mahesa Wongateleng dan seterusnya). Perlawanan rakyat terhadap belanda dan seterusnya sampai terjadinya beberapa kali peralihan kekuasaan di Nusantara telah mewarnai Sejarah Korupsi dan Kekuasaan di Indonesia. Dalam kalangan elit kerajaan, raja lebih suka disanjung, dihormati, dihargai dan tidak suka menerima keritik dan saran. Dalam aspek ekonomi, raja dan lingkaran kaum bangsawan mendominasi sumber-sumber ekonomi di masyarakat. Rakyat umumnya “sibiarkan” miskin, tertindas, tunduk dan harus menuruti apa kata, kemauan atau kehendak “ penguasa “.
Budaya yang sangat tertutup dan penuh “keculasan” itu turut menyuburkan “ budaya korupsi “ di Nusantara. Tidak jarang abdi Dalem juga melakukan “ Korup” dalam mengambil “ upeti “ (pajak) dai rakyat yang akan diserahkan kepada Tumenggung. Abdidalem di Katemenggungan setingkat kabupaten atau propinsi juga mengkorup harta yang akan di serahkan kepada Raja atau sultan. Kebiasaan mengambil “ upeti “ dari rakyat kecil yang dilakukan oleh Raja Jawa ditiru oleh Belanda ketika menguasai Nusantara (1800-1942) minus zaman inggris (1811-1816) , Akibatnya kebijakan itulah banyak terjadi perlawanan-perlawanan rakyat terhadap Belanda.
Pada masa orde lama, dibentuk Badan Pemberantasan Korupsi, Panitia Retooling Aparatur Negara (Paran) dibentuk berdasarkan UU Keadaan Bahaya, dipimpin oleh A.H. Nasution dan dibantu oleh dua orang anggota yakni Prof M Yamin dan Roeslan Abdulgani, namun ternyata pemerintah pada waktu itu setengah hati menjalankannya. Soebandrio mengumumkan pembubaran paran/ operasi Budhi yang kemudian diganti namanya menjadi Kotrar (Komando Tertinggi Retooling Aparat Revolusi ) di mana Presiden Sukarno menjadi ketuanya serta dibantu oleh Soebandrio dan Letjen Ahmad Yani. Sejarah kemudian mencatat pemberantasan korupsi pada masa itu akhirnya mengalami stagnasi.
Pada Masa Orde Batu, dibentuk Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) yang diketuai Jaksa Agung-Tahun 1970, terdorong oleh ketidakseriusan TPK dalam Pemberantasan korupsi seperti komitmen Soeharto, mahasiswa dan pelajar melakukan unjuk rasa memprotes keberadaan TPK. Dibentuk komite empat beranggotakan tokoh-tokoh tua yang dianggap bersih dan berwibawa tugasnya yang utama adalah membersihkan antara lain Departemen Agama, Bulog, CV Waringin, PT Mantrust, Telkom, dan Pertamina. Namun kornite ini hanya “ macam ompong “ karena hasil temuannya tentang dugaan korupsi di Pertamina tak direspon pemerintah.
Pada era reformasi hampir seluruh elemen penyelenggara negara sudah terjangkit “ virus korupsi “ sangat ganas. Presiden BJ Habibie mengeluarkan UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaran Negara yang bersih dan bebas dari KKN berikut pembentukan berbagai komisi atau badan baru seperti KPKPN, KPPU atau Lembega Ombudsman. Presiden Abdurrahman Wahid membentuk Tim Gabungan Pemberantas Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK) dengan peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2000, tapi TGPTPK akhirnya dibubarkan.
Sejak itu, Indonesia mengalami kemunduran dalam upaya pemberantasan KKN- Di samping membubarkan TGPTPK, Presiden Gun Dur juga dianggap tidak bisa menunjukkan kepemimpinan yang dapat mendukung upaya pemberantasan korupsi.
Pada tanggal 16 Desember 2003, Taufiequrachman Ruki, dilantik menjadi ketua KPK. KPK hendak memposisikan dirinya sebagai Katalisator (pemicu) bagi aparat dan institusi lain untuk terciptanya jalannya sebuah pemerintah baik dan besih di republik indonesia. Walaupun konsisten mendapat kritik dari berbagai pihak tentang dugaan tebang pilih pemberantasan korupsi.
Upaya pemberantasan Korupsi dengan langkah-langkah sebagai berikut.
- Mendesain ulang pelayanan publik, terutama pada bidang- bidang yang berhubungan langsung dengan aktivitas pelayanan kepada masyarakat tiap hari. Tujuannya merupakan untuk mempermudah warga luas mendapatkan pelayanan publik yang handal, bermutu, pas waktu serta tanpa dibebani bayaran ekstra/ pungutan liar.
Langkah- langkah prioritas diperuntukan pada: (a) Penyempurnaan Sistem Pelayanan Publik, (b) Kenaikan Kinerja Aparat Pelayanan Publik, (c) Kenaikan Kinerja Lembaga Pelayanan Publik; serta (d) Kenaikan Pengawasan terhadap Pelayanan Publik, dengan kegiatankegiatan prioritas sebagaimana terlampir dalam matriks.
- Menguatkan transparansi, pengawasan dan sanksi pada kegiatan- kegiatan pemerintah yang berhubungan dengan ekonomi dan sumber energi manusia. Tujuannya adalah buat tingkatkan akuntabilitas Pemerintah dalam pengelolaan sumber energi negeri dan sumber energi manusia dan membagikan akses terhadap data serta bermacam perihal yang lebih membagikan peluang warga luas buat berpartisipasi di bidang ekonomi.
Langkah- langkah prioritas diperuntukan pada: (a) Penyempurnaan Sistem Manajemen Keuangan Negeri, (b) Penyempurnaan Sistem Procurement/ Pengadaan Benda serta Jasa Pemerintah, dan (c) Penyempurnaan Sistem Manajemen SDM Aparatur Negeri, dengan kegiatan- kegiatan prioritas.
- Tingkatkan pemberdayaan perangkat perangkat pendukung dalam penangkalan korupsi. Tujuannya merupakan buat menegakan prinsip“ rule of law,” menguatkan budaya hukum serta memberdayakan warga dalam proses pemberantasan korupsi. Langkah- langkah prioritas diperuntukan pada: (a) Peningkatan Pemahaman serta Partisipasi Warga, serta (b) Penyempurnaan Modul Hukum Pendukung.
Tampaknya memasukan ke lembaga pemasyarakatan (penjara) untuk koruptor bukan ialah metode yang menjerakan ataupun cara yang sangat efisien buat memberantas korupsi. Terlebih dalam aplikasi lembaga pemasyarakatan malah jadi tempat yang tidak terdapat bedanya dengan tempat di luar lembaga pemasyarakatan asal nara pidan korupsi dapat membayar beberapa duit buat memperoleh pelayanan serta sarana yang tidak beda dengan pelayanan serta sarana di luar lembaga pemasyarakatan. Oleh sebab itu, timbul sebutan lembaga pemasyarakatan dengan fasiltas serta pelayanan elegan. Memandang pada keadaan semacam ini, maka butuh dipikirkan metode lain supaya orang merasa malu serta berpikir panjang buat melakukan korupsi. Metode yang bisa dicoba antara lain adanya syarat buat mengumumkan vonis yang sudah mendapatkan kekuatan hukum senantiasa atas permasalahan korupsi lewat media masa. Ketentuan ini tidak hanya buat membagikan data kepada publik pula sekalian selaku sanksi moral kepada pelakon tindak pidana korupsi. Selain itu, butuh pula ditambah sanksi pencabutan hak kepada tersangka permasalahan korupsi. Perihal ini sangat berarti buat membagikan pendidikan bahwa pengemban jabatan publik merupakan individu yang bermoral serta berintegritas besar.