
Judul : Masih Ingatkah Kau Jalan Pulang
Penulis: Sapardi Djoko Damono & Rintik Sedu
Penerbit: Gramedia
Jumlah Halaman: 104 halaman
Sebagai awalan, Sapardi menjelaskan bahwa buku puisi ini adalah hasil kolaborasi dalam arti yang sesungguhnya. Bukan dua orang yang masing-masing menulis puisi lalu digabungkan dalam satu buku, melainkan Sapardi mendengarkan terlebih dahulu Semesta milik Rintik Sedu, kemudian ia menuliskannya sebagai puisi.
Tentu saja hal ini adalah kabar gembira karena Pak Sapardi memberikan edukasi seperti apa seharusnya kolaborasi, mengingat betapa banyak orang-orang di luar sana mengaku berkolaborasi, namun tidak betul-betul berkolaborasi . Semangat kolaborasi ini pula kulihat sebagai jalan tengah atau jembatan antara seni mencoba untuk saling mencari keuntungan dengan dibangunnya penghubung itu.
Sapardi yakin bahwa puisi adalah bunyi itu, tidak hilang. Tapi sayangnya,gagasan dan cara penulisan Sapardi pada puisi-puisinya di Masih ingatkah kau jalan pulang masih banyak pengulangan kata. Kecenderungan lainnya adalah Sapardi yang “tertarik” ke jenis instapoem yang mengandalkan kata-kata puitis yang quotable, contohnya:
Kalau aku pergi mencari obat
Cinta jugakah sang penawar itu?
Menurut saya instapoem adalah permainan kata-kata yang menginginkan keindahan didalamnya tapi tidak memiliki makna. Misalnya kata “cinta” yang terdapat pada puisi diatas,saya kurang srek karna tidak ada maknanya. Namun ada beberapa hal yang membuat saya suka Sapardi djoko damono yaitu kekuatan imajinasinya. Metafora-metafora yang lahir dari beliau begitu memukau. Ia menuslis seperti sedang menggambarkan seusatu dan orang yang membacanya bisa merasakan metafora-metafora itu. Selain itu, Sapardi juga tidak melupakan lirisisme. Ia memberikan satu-dua pernyataan puitik yang kuat dalam puisi-puisinya
Keseimbangan kedua unsur tersebut membutuhkan kesabaran untuk mengamati dan menggali kedalaman karakteristik inilah yang menjadi perbedaan utama dengan instapoem yang cenderung terburu-buru dalam membuat sebuah pernyataan puitik
Mari kita lihat puisi ini:
Terbaring sajalah di makam
kalau tidak lagi percaya
kasih sayang ini adalah air terjun
yang gemuruh gaungnya
kalau tidak lagi percaya
bahwa kasih sayang ini
adalah air minum yang tidak bisa
menjelaskan asal-usulnya
Tusuk inti dirimu sajalah
kalau tidak lagi percaya
bahwa kasih sayang tiada lain
adalah kata yang menahbiskanmu
sebagai manusia
Saya tahu kutipan yang ingin dikejar adalah bagian akhirnya saja. Kasih saying tiada lain adalah kata yang menahbiskanmu sebagai manusia. Pada baris sebelumnya saya tidak paham,meskipun disana ada niatan bermain gaya bahasa. Namun ada juga bagian-bagian yang say sukai seperti ketika beliau mendefinisikan pergi dan pulang
Pergi adalah belalang
yang meloncat-loncat
diatas rumputan
Pulang adalah rumputan
yang rata
yang satu dua batangnya
meregang ketika
melahirkan warna hijau
yang menjadi penandanya
Dari sekian banyak puisi yang ada didalam bukunya,puisi diatas lah yang paling saya suka. Puisi-puisi di Masih Ingatkah Kau Jalan Pulang ini beralas pijak dialog,maksudnya adalah suara antara laki-laki dan perempuan. Dilihat dari beberapa buku puisi yang lain cenderung mengalami pengulangan gagasan dan kuatnya tarikan instapoem.
Tujuan dialog tersebut tercapai. Kita dapat mendengar dua suara yang berbeda saling sahut-menyahut,seperti samar-samar melihat puisi berdiri dihadapan saya dan membicarakan kalimat perkalimat**