Rahimullah
Alumni FISIP Universitas Lambung Mangkurat
Mahasiswa Pascasarjana FISIP Universitas Airlangga
Setiap orang yang terinfeksi Covid-19 khususnya yang menjalani perawatan dapat saja menjadi dilema keberadaannnya. Selain terbatasnya interaksi yang dilakukan dengan keluarga, penyembuhannya pun tidak menentu sampai kapan waktunya. Proses penyembuhan ada yang waktunya cepat, lambat, dan bahkan sebaliknya nyawa pasien Covod19 tidak dapat lagi tertolong.
Pasien Covid-19 yang meninggal dunia tentunya dapat saja menjadi lebih dilema lagi bagi keluarga pasien yang bersangkutan. Karena jenazah pasien Covid -19 dalam prosesnya hingga ke pemakaman menerapkan protokol kesehatan yang hanya ditangani pihak petugas. Hal ini biasanya sudah dibuatkan perjanjian sebelumnya oleh pihak rumah sakit/ pihak yang merawat kepada pihak keluarga pasien tersebut. Di samping itu juga merupakan kebijakan pemerintah yang mengharuskan penerapan protokol kesehatan bagi pasien Covid-19 yang meninggal dunia.
Penerapan protokol kesehatan dalam penanganan jenazah covid-19 inilah yang menjadi polemik di tengah masyarakat. Hal ini terlihat dari peristiwa di berbagai daerah yang masyarakat/keluarganya melakukan pengambilan jenazah secara paksa karena tidak mau dilakukan dengan penerapan protokol kesehatan. Namun, ada juga jenazah yang sudah positif Covid-19 akan tetapi dalam proses menshalatkan dan pemakamannya tidak menerapkan protokol kesehatan karena dekat dengan pejabat yang berpengaruh. Sebagaimana penulis mendapatkan informasi dari kerabat yang bekerja di salah satu rumah sakit bahwa petugas rumah sakit “bersikeras” menerapkan protokol kesehatan, namun pejabat daerah meminta agar tidak dinyatakan positif Covid-19 sekaligus tidak menerapkan protokol kesehatan dalam proses shalat jenazah serta pemakamannya yang seharusnya dilaksanakan petugas terkait.
Tak hanya itu, penerapan protokol kesehatan yang ketat dalam penanganan jenazah pasien covid-19 membuat sebagian masyarakat merasa takut melakukan pemeriksaan/pengobatan ke rumah sakit karena khawatir bilamana dilakukan perawatan dan terinfeksi Covid-19 yang pada akhirnya meninggal dunia maka konsekuensinya dilakukan penerepan protokol kesehatan. Hal inilah stigma yang berkembang di tengah masyarakat.
Selain itu juga penerapan protokol kesehatan dalam penanganan jenazah Covid-19 menimbulkan kecurigaan adanya pihak yang berkepentingan, sebagaimana adanya rumah sakit yang sengaja menyatakan pasien menjadi positif Covid-19 demi mendapatkan insentif rumah sakit (kumparan.com). Hal inilah juga ada keterkaitannya dengan penulis mendapatkan informasi adanya pasien yang melakukan perawatan beberapa hari yang akhirnya meninggal dunia ditawarkan oleh petugas untuk dinyatakan pasien tersebut positif Covid-19 dengan dijanjikan akan diberikan imbalan kepada pihak keluarganya. Lagi pula, siapa yang menjamin bahwa penanganan jenazah Covid-19 yang hanya dilakukan petugas tanpa melibatkan keluarga yang mengetahui akan tetap utuh organ tubuh jenazah tersebut seperti sedia kala.
Satu sisi, kebijakan penerapan protokol kesehatan yang hanya petugas terkait yang berperan dalam penanganan jenazah Covid-19 ada positifnya juga dalam rangka antisipasi kemungkinan terjadinya penularan Covid-19 yang berasal dari jenazah tersebut. Namun, apakah ada data valid yang menjadi landasan bahwa jenazah Covid-19 yang sudah dimandikan petugas dan dibungkus dapat menularkan, atau mungkin argumen itu sengaja dibangun untuk kepentingan pihak tertentu. Lagi pula, dr. Edi Suyanto SpF. SH. MH selaku Kepala Departemen Forensik dan Medikolegal RSU dr. Soetomo Surabaya mengatakan bahwa secara ilmiah kedokteran, korban atau jenazah kemungkinan menularnya sudah tidak ada (narasi.tv). Hal ini ada korelasinya dengan kasus pengambilan paksa jenazah Covid-19 yang dilakukan pihak keluarganya di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dr Haulussy Ambon yang beberapa hari setelahnya dilakukan rapid test dan swab test ternyata hasilnya negatif Covid-19 (kompas.com).
Sisi lain, apakah kita memang tega memperlakukan keluarga jenazah pasien Covid-19 dengan pengetatan protokol kesehatan yang membuat mereka dan masyarakat yang bersedia terbatas dalam menshalatkan dan menghadiri pemakaman yang hanya dilakukan petugas dan beberapa orang. Apalagi ada pemakaman jenazah Covid-19 dimakamkan di tempat tertentu yang jauh jarak keberadaannya yang tanpa keinginan pihak keluarga jenazah. Hal inilah seakan berseberangan dengan norma sosial yang penting di masyarakat, memang harus sepakat bahwa jarak fisik harus direnggangkan (physical distancing), namun bukan berarti ikatan sosial dan rasa kemanusiaan dilonggarkan. Tentu pihak keluarga jenazah pasien Covid -19 yang lebih merasakan yang tidak hanya kehilangan personel keluarganya. Akan tetapi juga mereka menanggung beban moral yang membuat mereka merasa terkucilkan yang bisa saja mereka rasakan sepanjang hidupnya.
Berbagai kejanggalan dan peristiwa pengambilan paksa jenazah Covid-19, serta adanya kepentingan pihak tertentu dalam pemberlakukan protokol kesehatan terhadap penanganan pasien jenazah yang dinyatakan positif Covid-19 seyogyanya segera ditindaklanjuti oleh pihak terkait yang berhak dan yang mempunyai kewenangan untuk dicarikan solusinya. Sehingga evaluasi kebijakan penerapan protokol kesehatan dalam penanganan jenazah Covid-19 sudah semestinya dilakukan supaya tidak ada pihak yang merasa dirugikan.