Rahimullah
Alumni FISIP Universitas Lambung Mangkurat
Mahasiswa Pascasarjana FISIP Universitas Airlangga
Sejarah telah mencatat bahwa Pemerintah Orde Baru tumbang pada 21 Mei 1998. Penumbangan ini terjadi disebabkan rasa ketidakpuasan rakyat yang dipendam sejak lama terhadap pemerintah yang dianggap mengekang demokrasi dan bahkan menimbulkan kesengsaraan rakyat. Sehingga salah satu prinsip yang diterapkan dalam reformasi politik, yakni penerapan prinsip demokrasi.
Berbicara tentang demokrasi berarti memberikan kebebasan kepada rakyat. Rakyat diberikan kesempatan menikmati hak dasar rakyat, meliputi hak dasar memperoleh kehidupan yang layak, pekerjaan yang layak, pelayanan pendidikan yang baik dan murah, pelayanan kesehatan yang baik dan murah, hak menyatakan pendapat, melakukan kegiatan berserikat, bebas dari rasa takut, serta hak dasar berpolitik.
Sekarang ini sudah dua puluh dua tahun perjalanan reformasi. Kenyataannya defisit demokrasi terjadi terutama yang sensitif salah satunya mengenai hak dasar menyatakan pendapat tentang pemerintah yang dilakukan oleh rakyat telah menjadi sorotan dari banyak kalangan.
Mengingat rakyat yang mengeluarkan pendapat untuk mengkritisi pemerintahan dapat dilakukan penangkapan, yang kadang-kadang juga dengan dalih pelanggaran undang-undang informasi dan transaksi teknologi.
Pemerintah yang berkuasa seakan-akan main tangkap terhadap rakyat yang dianggap berseberangan dengan pihaknya. Hal itulah yang terjadi sekarang ini yang dirasakan berbagai kalangan.
Sebagaimana yang penulis kutip dalam laman tempo.com menyatakan terjadinya penangkapan terhadap Ruslan Buton yang mengkritik kepemimpinan Presiden Jokowi dan meminta untuk mundur dari jabatannya sebagai solusi terbaik untuk enyelematkan bangsa.
Penangkapan juga dialami oleh Ismail beberapa hari yang lalu yang penulis kutip dalam laman tirto.id dikarenakan mengunggah guyonan Gus Dus di akun facebooknya yang menyatakan hanya ada tiga polisi jujur di Indonesia yaitu patung polisi, polisi tidur, dan Jenderal Hoegeng. Pihak kepolisian juga meminta kepada pihak yang bersangkutan untuk menyampaikan permohonan maaf kepada polisi republik Indonesia melalui konferensi pers.
Lebih lanjut, sikap menyatakan pendapat melalui aksi demonstrasi juga terjadi dalam beberapa bulan yang lalu yang masih dalam ingatan publik yang penulis kutip dalam laman bbc.com menyatakan lebih dari 50 demonstran meninggal dunia sepanjang tahun 2019.
Berbagai peristiwa penangkapan dan adanya kekerasan yang berujung kematian tentunya sangat memilukan terjadi di negeri ini yang mengaku sebagai negara demokrasi.
Presiden dan pejabat negara serta jajaran pemerintah lainnya yang sudah diberikan amanah oleh rakyat semestinya tidak menutup diri mendengarkan pendapat serta kritik dan bahkan hinaan sekalipun yang didengungkan rakyatnya. Apalagi mereka dalam menjalankan tugas mendapatkan jaminan gaji dan fasilitas kehidupan mentereng yang anggaran pendanaannya berasal dari uang rakyat.
Rakyat yang bereaksi melakukan tuntutan tentu ada sebabnya. Rakyat yang mengatakan suatu pendapat, kritik, serta hinaan kepada pihak pemerintah dapat saja diartikan sebagai bentuk rasa frustrasi dan kegelisahan yang sekaligus perhatiannya terhadap kondisi negara.
Oleh sebab itu, Presiden dan pejabat negara serta jajaran pemerintah lainnya juga sepatutnya mawas diri tentang apa tugas yang sudah dilakukan sesuai dengan fungsinya sebagai bentuk tanggungjawab terhadap rakyatnya.
Saatnya pemerintah tidak menggunakan “lagu lama” dengan pola zero-sum-game yang berarti rakyat harus ditekan. Akan tetapi pemerintah menerapkan win-win solution, yakni memperkuat negara tidak berarti melemahkan rakyat.
Dalam hal memperkuat negara, pemerintah dengan tugas dan fungsinya harus meningkatkan kapasitas negara untuk membangun kebijakan publik berkualitas yang berdampak signifikan bagi rakyat. Bukan sebaliknya, pemerintah sibuk membangun kebijakan yang jauh dari yang di nanti rakyat yang pada akhirnya juga demokrasi mengalami degradasi.