Oleh: Kadarisman
Mahasiswa Pasca Sarjana Administrasi Public Fakultas Ilmu sosial dan Ilmu Politik ULM
Ada satu kutipan yang saya masih ingat dari kutipan sebuah buku, Political Social Responsibility: “Satu masa yang akan datang, di mana kesederejatan politik warga negara-pemerintah tercapai. Maka partai politik bukanlah satu-satunya pemilik penuh akses kekuasaan.”
Tampaknya memang, partai politik di fase kedua kekuasaan Presiden Joko Widodo sangat ambisius menyusufkan faham-faham yang mendegradasi nilai ketuhanan dalam Pancasila.
Partai politik teramat jumawa memaknai perannya di legislasi. Koalisi besar yang dibangun oleh elit di DPR RI atas kekuasaan eksekutif membuat partai pemenang pemilu 2019 bertingkah pongah.
Ada-ada saja olahnya. Dipilih dan dikasih amanah supaya bekerja benar malah keblenger. Hal yang benar adalah, mereka bener-bener ngerjain negara, memberikan celah afiliasi kepentingan faham non Pancasila merasuk jiwa bangsa Indonesia. Mengangkangi rakyat, menggadaikan falsafah bangsa.
DPR RI tak henti menebar kontroversi. RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) tampaknya bukan akhir kisah, setelah sebelumnya juga melahirkan banyak bias pada RUU Omnibus Law, KUHP, Ketahanan Keuarga hingga sekarang HIP.
RUU HIP jelas sangat terang bertujuan mengagitasi nafas dan landasan dalam konteks Indonesia bernegara. Setelah ini ramai ditolak oleh banyak elemen bangsa, pemerintah berkilah, karena RUU HIP adalah inisiatif DPR RI.
RUU HIP tidak semata inisiatif DPR RI, tapi juga pesanan eksekutif dari titipan sponsor partai tertentu yang membangun koalisi besar di DPR yang patut dicurigai menyusupkan embrio faham tertentu.
RUU semacam ini merupakan desain pemilik akses kekuasaan yang permisif atas faham yang tertolak. Sederet RUU kontroversi seolah mendesak masuk dalam prolegnas, padahal masih banyak bahasan lain yang mestinya menjadi prioritas. Dan kita pun tahu, DPR RI selalu tak pernah amanah menuntaskan target RUU yang mereka sepakati.
RUU HIP ini betul-betul bagian dari sebuah rangkaian momentum sistematis agar bangsa kita ditarik kepada faham yang jauh dari jati diri sesungguhnya.
Mereka hendak memperkosa Tuhan melalui RUU HIP ini dengan langkah pertamanya mengaburkannya, mendegradasi nilainya, mereduksi asasnya. Hingga kemudian lahirlah Tuhan yang berbudaya. Ketuhanan yang berkebudayaan. Tampaknya memang Tuhan mesti diajarkan bagaimana mestinya berbudaya itu hanya ada fase kekuasan pemerintah saat ini.
Kita semula berharap, legislator yang lahir dari pilihan umat itu dapat menjadi benteng pertahanan atas kekuasaan pemerintah yang tidak selaras dengan tujuan negara dan bangsa. Tidak harusnya mereka tunduk pada kesepakatan koalisi besar yang berdiam diri ketika para pemangku keputusan bertaruh soal nasib bangsa.
Jika demikian, sungguh rakyat kehilangan ruh keterwakilan. DPR ada hanya sebatas tukang stempel dan atau menjadi alat penindasan baru yang legitimatif. DPR sungguh terjebak ke dalam romantisme kekuasaan yang tak lagi berdaya untuk keluar dari gerbong kepentingan sempit dari fase akhir kepentingan fahamisme.
Saatnya bangsa ini menimbang untuk tidak lagi menjadikan partai politik sebagai kultus demokrasi yang memonopoli akses kekuasaan. Jika demikian keadaanya, maka sistem politik mesti memberi ruang dan tempat kepada non parpol untuk menjadi bagian dari legislator. Menempatkan keterwakilan lain sebagai pemegang akses kekuasaan tetapi tidak menjadi hamba dari ketua umum parpol dan koalisi besar apapun.
Karena memang pertanggungjawaban sejati dari apa yang dipilih rakyat adalah kepada rakyat, bukan kepada partai politik.