Oleh: Erlina Effendi Ilas
Koordinator GJB DAI Tabalong
Akhirnya Idul Fitri 1441 H pun datang. Siapapun kita yang berpuasa di bulan Ramadhan itu boleh mengklaim jadi pemenang. Pemenang Ramadhan tentulah orang yang lulus uji. Bukan semata tunai puasanya tetapi tunai ditempuhnya syarat sebagai orang yang sampai pada tahta taqwa sebagaimana Qur’an dalam surat al-Baqarah ayat 183.
Dalam tahta taqwa itu, gerakan Forum Lintas Relawan Tabalong yang menghimpun 12 komunitas relawan se Tabalong tampil menawarkan warna sebagai opsi yang mentriger untuk memudahkan jalan taqwa.
Forum relawan yang selama bulan Ramadhan 1441 H telah mendistribusikan puluhan ribu takjil dan nasi berbuka puasa menjadi wadah bagi umat muslim yang berpuasa untuk menyempurnakan urusan spiritualitasnya kepada Allah SWT.
Komunitas relawan yang terbentuk atas dasar keprihatinan dampak covid-19 dengan tajuk “jangan ada yang kelaparan” itu sekaligus meberikan jawaban dan solusi kemanusiaan diketika mesjid dan musala “menutup diri” dari aktivitas menyediakan makanan berbuka puasa.
Ketika relawan memutuskan bergerak mereka tak memiliki gambaran siapa yang bakalan mendonasikan takjil dan nasi berbuka puasa. Hari pertama hingga hari ketiga relawan hanya mengumpulkan rata-rata dua ratus porsi menu berbuka. Makin hari masyarakat yang membutuhkan semakin banyak. Namun tiba-tiba juga donasi takjil dan nasi semakin bertambah. Bahkan puncaknya per hari donasi menu berbuka dapat menembus angka 1500 lebih porsi menu berbuka.
Allah jua yang mengatur segala urusan. Ketika hati diniatkan untuk kebaikan, Allah akan mencukupkan dengan cara yang tak pernah kita sangka sekalipun. Dari nasi yang 100 dan 200 kotak melonjak menjadi 1.500 lebih. Hingga relawan pun memutuskan melebarkan sayap distribusi donasi ke tiga mesjid.
Allah kirimkan seorang anak kecil kepada relawan. Kedatangannya bukan meminta sebungkus nasi, tapi mendonasikan hasil tabunganya dalam bentuk uang logam. Uang logam yang ia sisihkan dari uang jajan sekolahnya itu sejumlah Rp 270 ribu. Anak seusia sekolah dasar yang tidak ingin disebut namanya itu punya kekuatan peduli sedahayat itu. Siapakah yang menggerakkan hatinya untuk melakukan itu?
Ada pula seorag ibu-ibu dengan dandanan kusam dan dekil. Di saat relawan bersiap akan menyuguhkan takjil dan nasi untuk diberikan, malah sang ibu menenteng keresek yang berisi nasi. Ia datang untuk mendonasikan nasi, bukan meminta nasi. Kita tak tahu, boleh jadi sang ibu adalah orang yang layak menerima donasi nasi tetapi ia memposisika dirinya untuk berlaku mampu.
Ada bubur ayam yang setiap hari mendonasikan buburnya. Ada bebek lunak. Ada ayam geprek dan lainnya setiap hari datang mengantarkan nasi. Tak juga terhitung mereka yang berkendara Fortuner, Kijang, Mobilio, Yaris, Ertiga, Triton dan lainnya datang ke posko relawan di Mesjid YAMP Waradatush Sholihin.
Sungguh sejatinya kemampuan untuk menapaki jalan takwa tidak ditentukan apakah seseorang miskin atau kaya. Karena memang kaya dan miskin bukan ukuran seseorang mampu untuk berbagi. Sama sekali bukan alat ukur seseorang dikatakan mampu.
Pada akhirnya kita pun mesti belajar kehidupan pada anak kecil yang tak pernah risau akan kehilangan tabungannya. Atau kepada seorang ibu dekil yang boleh jadi ia lebih membutuhkannya. Kita pun mesti dapat belajar dari mereka yang kaya tetapi mampu untuk berbagi.
Berbagi adalah lahan ibadah sosial yang menjadi penyempurna ketaatan atas Allah. Hingga tak dapat dikatakan saleh seseorang, jika medan sosialnya kedodoran. Itulah nilai substansi puasa dalam bulan Ramadhan. Bagaimana bulan yang penuh hikmah itu mengajarkan kepedulian mulai dari dalam rasa hingga alam aktualisasi nyata.
Dengan demikian ketika bulan puasa berlalu kita pun dapat bersuka cita, merasa kita adalah pemenangnya. Betulkah, sudahkah kita jadi pemenang? Wallahu’alam Bisawab.