Febri Irwandi.
Penulis adalah Alumni FKIP Sejarah Unlam
dan Mahasiswa Pascasarjana FIS Prodi Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Malang
Dewasa ini minat didalam mempelajari sejarah sangatlah miris dan memprihatinkan. Generasi muda kita lebih suka terjebak dalam budaya hedonis dan lupa dengan petuah-petuah nenek moyang kita.
Sebagai contoh Soekarno dalam pidatonya selalu berkali-kali mengingatkan kita akan pentingnya mempelajari Sejarah. Jargon yang terkenal dengan sebutan “Jas Merah” atau “jangan sekali-kali melupakan Sejarah”, jargon tersebut sangat tepat untuk direalisasikan dalam kehidupan kita sehari-hari sebagai generasi bangsa yang menghargai perjuangan pahlawannya.
Problematika saat ini justru berbalik dengan esensi pidato-pidato yang disampaikan Bung Karno. Malahan generasi muda kita terjebak dalam lingkar budaya yang jauh dari nilai-nilai historis budayanya sendiri. Istilah ekspansi K-Pop atau Boy/Girl Band Korea sudah berhasil mengkolonisasi sekaligus menggeneralisasi budaya kita yang seyogyanya lebih menghargai pahlawan-pahlawan bangsa malah sebaliknya dilupakan dan apatis.
Hal tersebut menjadi PR bagi kita semua untuk meluruskan paradigma para generasi muda kita untuk tetap konsisten didalam mengaktualisasikan nilai-nilai historis yang sudah diwariskan pendahulu kita.
Peran guru sejarah sangatlah vital di dalam merealisasikan kesadaran sejarah atau historical awareness kepada peserta didik melalui pembelajaran sejarah yang efektif dan bersifat pedagogis.
Terkadang ada beberapa asumsi kenapa pembelajaran sejarah tidak menarik dan bersifat membosankan. Seorang guru sejarah seyognya mengajarkan pembelajaran sejarah haruslah bersifat kreatif dan inovatif, guru sejarah harus bisa memanfaatkan model pembelajaran yang sesuai dengan kriteria peserta didik. Pembelajaran sejarah tidak mesti melulu dengan hafalan dan buku tebal, para guru bisa merealisasikan dengan memanfaatkan museum, film, dan konten-konten YouTube yang terintegrasi dengan refrensi yang valid.
Sebagai penutup kita tidak boleh lupa dengan pernyataan Sejarawan Senior Indonesia yaitu Sartono Kartidirdjo yang menyatakan ada 2 manfaat di dalam mempelajari sejarah, yakni manfaat genetis dan didaktits. Manfaat genetis mencakup pewarisan nilai-nilai/Budi pekerti. Adapun manfaat didaktits mencakup pembelajaran peristiwa masa lampau.
Apabila kita imajinasi kan ketika nilai-nilai sejarah mulai dilupakan oleh generasi bangsa ini, mungkin besok hari tidak ada lagi yang mengenali pahlawan kita seperti Kapitan Pattimura, Tuanku Imam Bonjol, Pangeran Antasari, Cut Nyak Dien, dan lain sebagainya.
Memang tidak diharamkan untuk mengetahui dan menyukai budaya asing selama masih dalam tahapan koredor pancasilais, namun kalau hal tersebut direalisasikan dengan apatisme garis keras maka jangankan mengenali pahlawan dari bangsa sendiri, mempelajarinyapun lebih bersifat malas zona level tertinggi.
Oke lah kalaupun suka juga terhadap Super Junior, Girls Generation, Lee Min Hoo, Choi Si Woon dan apapun namanya, setidaknya kita sebagai generasi bangsa tidak mengeleminasi tokoh-tokoh heroik yang berjasa bagi kita, karena tanpa mereka nikmat kemerdekaan tidak akan kita rasakan seperti saat ini.
Generasi muda kita sepatutnya tidak serta Merta proyek ekspansi budaya asing mengkolonisasi nilai-nilai Nusantara. Integritas yang beresensi pancasilais selalu menjadi akulturasi yang optimal dalam memahami dialektika zaman now saat ini.
Terkadang move on itu perlu namun jangan juga tidak berkaca dan mengambil ibrah dari peristiwa masa lalu tersebut. Mempelajari sejarah sangat terfokus pada peristiwa-peristiwa masa lalu sebagai pembelajaran untuk masa depan dan masa sekarang.
Mempelajari sejarah haruslah dengan penghayatan yang totalitas seperti ketika membaca novel dan cerpen, kita harus bisa berimajinasi dengan tokoh yang diceritakan dalam peristiwa sejarah tersebut. Sebagai contoh Gajah Mada, dengan perawakan yang besar, gagah dan berwibawa.*