Rahimullah
Alumni FISIP Universitas Lambung Mangkurat
Mahasiswa Pascasarjana FISIP Universitas Airlangga
Sekarang ini memang “booming” pemberitaan virus corona, tak kalah pentingnya ada juga informasi mengenai kasus narkoba. Penyebaran virus corona yang terjadi dan masih berlangsung melanda negeri ini tidak membuat pengedar dan pemakai narkoba bergeming dengan keadaan.
Sebagaimana kasus narkoba yang terjadi di wilayah Kalimantan Selatan. Petugas Satresnarkoba Polresta Banjarmasin pada 28 April 2020 yang penulis kutip dalam matabanua.co.id mengagalkan transaksi narkoba jenis sabu-sabu dengan berat netto 4,9 gram. Selain itu juga Petugas Satresnarkoba Polres Tabalong pada 6 Mei 2020 yang penulis kutip dalam laman korankontras.net berhasil mengamankan pelaku penyalahgunaan narkoba jenis sabu-sabu dalam satu buah kotak rokok di wilayah hukum Kabupaten Tabalong.
Pengungkapan penyalahgunaan narkoba tersebut sebenarnya hanya bagian kecil dari kasus narkoba yang terungkap, namun patut di apresiasi kinerja kepolisian. Mengingat ada peristiwa yang mengejutkan dari jajaran Polda Kalsel beserta Polres Tabalong pada 13 Maret 2020 yang lalu penulis kutip dalam laman ratanews.kalsel.polri.go.id berhasil melakukan penangkapan peredaran narkoba jenis sabu 208 kg dan ekstasi 13,9 kg di wilayah Kalimantan Selatan. Polisi dengan sigapnya ternyata tidak larut dalam “kesedihan” dengan suasana bayang-bayang wabah virus corona
Dengan temuan narkoba yang berjumlah 221,9 kg ini merupakan tangkapan terbesar kedua secara nasional. Setelah Polda Metro Jaya yang sebelumnya juga berhasil menggagalkan peredaran narkoba sebanyak 288 kg di Pandeglang, Kabupaten Tangerang pada akhir januari 2020 yang lalu (cnnindonesia.com)..
Rencananya temuan narkoba di Kecamatan Jaro Kabupaten Tabalong tersebut akan dipecah di wilayah Kalimantan Selatan. Tentunya tidak menutup kemungkinan peredaran terjadi secara merata di 13 kabupaten/kota yang ada di Kalimantan Selatan.
Dari data survei penyalahgunaan narkoba skala nasional yang dilakukan BNN kerjasama dengan LIPI pada 2019 yang penulis kutip dalam laman bnn.go.id mengatakan bahwa yang pernah memakai narkoba 4.534.744 jiwa dan yang setahun memakai narkoba 3.419.188 jiwa. Kalimantan Selatan khususnya mengalami penurunan jumlah penyalahgunaan narkoba pada 2019 menjadi kurang lebih 57.723 jiwa dibanding pada 2017 yang mencapai lebih 79.000 jiwa.
Penyalahgunaan narkoba tersebut mengingatkan penulis kepada salah satu warga yang terpesona dengan narkoba. Pemuda itu pernah bekerja di sektor swasta yang tentunya gaji yang didapatkan agak lumayan. Pihak yang bersangkutan bisa saja beranggapan merasa mampu dengan pundi-pundi rupiah yang dimiliki. Lalu mencoba memakai narkoba dan akhirnya ketergantungan. Seiring berjalannya waktu, yang bersangkutan kena PHK di tempat pekerjaannnya. Kabarnya pengaruh penyalahgunaan narkoba. PHK yang dilakukan dibarengi dengan uang pesangon. Lantas banyak uang yang ia dapatkan. Namun tak terasa uang yang dimiliki kandas.
Dengan adanya kebutuhan tersier yang dimiliki, berupa mobil dan kendaraan bermotor menjadi alternatif baginya untuk kembali menghasilkan uang dengan cara menjualnya. Bahkan sampai ada juga perabotan rumah tangga yang dijadikan alat untuk dijadikan uang. Kesemuanya itu tidak lain karena dampak dari penyalahgunaan narkoba. Sekarang ini yang bersangkutan sedang dilakukan pembinaan oleh pihak yang berwenang.
Seorang teman juga pernah bercengkrama dengan penulis di salah satu gedung olahraga. Ia mengatakan pernah terjebak karena penyalahgunaan narkoba. Mulanya mau coba-coba dan akhirnya ketergantungan. Ia merupakan seorang pedagang dengan omset kurang lebih 5 juta per harinya. Dengan ketergantungannya menggunakan narkoba, diakuinya mempengaruhi pekerjaannya dengan ketidaksiplinan membuka toko dagangan yang jam/waktunya tidak seperti biasanya. Serta pola pikirnya tidak terkonsentrasi lagi dengan dagangannya. Pembelinya juga ada yang merasa “takut” berinterkasi karena berbeda tinggah lakunya. Selain itu pembeli juga biasanya berdatangan setiap harinya, menjadi sepi pengunjung. Akhirnya barang dagangannya “gulung tikar” dan tidak dilanjutkannya. Sehingga ia mengaku menyesal dan tidak mau lagi mengulanginya.
Beranjak dari adanya penyalahgunaan narkoba, pengguna sebenarnya menjadi korban. Kebijakan rehabilitasi sudah memang seharusnya dikedepankan. Tentunya diimplementasikan secara profesional tanpa pandang bulu sesuai dengan aturan main yang berlaku.
Pengedar narkobalah yang memang semestinya dihukum seberat-beratnya untuk melakukan pertanggungjawabannya. Apalagi bandar besar, opsi hukuman mati sebuah keniscayaan. Mengingat penggunaan narkoba ini akan berdampak negatif yang secara signifikan kepada pengguna dan keluarganya serta lingkungan yang sekaligus juga mengancam genarasi masa depan bangsa*.