Rahimullah
Alumni FISIP Universitas Lambung Mangkurat
Mahasiswa Pascasarjana FISIP Universitas Airlangga
Pertamina merupakan salah satu andalan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Republik Indonesia. Karena driving value(energi yang menggerakan) yang ada pada sektor pertamina ini adalah kekuatan ekonomi berupa motivasi untuk memperoleh profit and income (keuntungan-pendapatan).
Berbagai produk dimiliki pertamina yang salah satunya produk bahan bakar minyak (BBM). Keberadaan BBM tentunya tidak terpisahkan dengan kebutuhan masyarakat sebagai penunjang alat transportasi kendaraan bermotor.
Tingkat harga BBM yang ditetapkan tidak hanya mempengaruhi pengeluaran masyarakat, tetapi yang tidak kalah pentingnya juga mempengaruhi perekonomian yang lebih luas lagi diantaranya harga barang dan jasa khususnya yang menyangkut kebutuhan pokok masyarakat.
Dalam konteks pelayanan publik, pelayanan yang diberikan kepada masyarakat secara efektif dan efesien sebisa mungkin harus dikedepankan/diprioritaskan. Mengingat pertamina adalah perusahaan energi nasional yang sahamnya 100% dimiliki oleh Pemerintah Republik Indonesia melalui Kementerian Badan Usaha Milik Negara selaku pemegang saham yang pada hakikatnya juga duitnya berasal dari rakyat.
Kebijakan Pemerintah
Sekarang ini pertamina menjadi sorotan banyak kalangan, mengingat anjloknya harga minyak dunia yang mengalami penurunan harga yang signifikan. Sebagaimana kritik dilontarkan salah satunya dari Mantan Menteri BUMN Dahlan Iskan (DI’s Way) yang mengutarakan kalau harga minyak mentah dunia kini tinggal 20 dolar/barel, harga bensin bisa langsung diturunkan menjadi sekitar Rp 5.000/liter.Begitu juga harga pertamax yang dikutip dalam laman gelora news yang mana harga pertamax vietnam mengalami penurunan harga yang jika dirupiahkan menjadiRp. 6.975 per liter, sedangkan di Indonesia harga pertamax mencapai Rp. 9.850 per liternya.
Namun pertamina sebagai penyuplai BBM tidak bereaksi untuk segera menindaklanjutinya. Hal itu diperkuat dari pernyataan Menteri ESDM Arifin Tasrif yang mengatakan tetap mempertahankan harga yang semula.
Presiden Joko Widodo sebagai kepala negara yang sekaligus kepala pemerintahan juga terkesan diam “seribu bahasa”, alih-alih lebih menyukai bagi-bagi sembako secara langsung kepada masyarakat tanpa menghiraukan physcal distancing yang dia buat sendiri aturannya dalam mencegah penularan Covid-19.
Pemerintah sebenarnya dapat melakukan kebijakan yang patokannya berlandaskan pada Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia Nomor 62. K/12MEM 2020 Tentang Formula Harga Dasar Dalam Perhitungan Harga Jual Eceran Jenis Bahan Bakar Minyak Umum Jenis Bensin Dan Minyak Solar Yang Disalurkan Melalui Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum Dan/Atau Stasiun Pengisian Bahan Bakar Nelayan.
Seorang pakar public policyProf. Thomas R. Dye mendefinisikan bahwa kebijakan merupakan apapun yang dipilih pemerintah untuk dilakukan dan tidak dilakukan. Dalam hal ini, pemerintah memilih tidak melakukan kebijakan penurunan harga BBM dengan tidak menyesuaikan harga pasaran minyak dunia yang berlaku.
Namun pemerintah seharusnya melakukan intervensi terhadap kehidupan publik untuk meningkatkan kehidupan publik demi menjaga kesinambungan kehidupan. Apalagi masyarakat sebagai konsumen sedang dihadapkan dampak dari Covid-19.
Karena bagaimanapun juga penurunan harga BBM tidak hanya berdampak secara langsung terhadap masyarakat sebagai pengguna, melainkan juga kepada masyarakat yang bukan pengguna. Mengingat distribusi barang dan jasa yang mengandalkan BBM dapat meminimalisir pengeluarannya yang pada akhirnya juga akan mempengaruhi khususnya salah satunya berkaitan dengan harga kebutuhan pokok hidup masyarakat.
Keputusan pemerintah melalui pertamina yangmemilih tetap bertahan pada posisi yang ada dalam artian tidak melakukan penurunan harga BBM sama halnya dengansecara tidak langsung “merampas” duit masyarakat secara legal yang juga sedang dirundung masalah dari dampak Covid-19. Sehingga sulit menghilangkan dugaan adanya kesan memanfaatkan penderitaan rakyat di tengah situasi pandemi Covid-19 yang belum kunjung mereda.
Dengan demikian, pertanyaan etiknya dalam kebijakan ialah siapa yang paling ditakuti oleh pembuat/penentu kebijakan? Apakah Tuhan, bangsa, parlemen, cukong, pemburu rente, atau keluarganya?.Sehingga pemerintah selaku pemilik pertamina sedang diuji kembali ketangguhannya akan rasa kepeduliannya terhadap rakyatnya.