Maman Saputra
Ketua Himpunan Mahasiswa Pasca Sarjana Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Akun sosial media, instagram: mamans_11
Coronavirus Diesase (COVID-19) sudah mulai merebak ke 214 negara. Jumlah kasus positif di Indonesia sendiri sudah melebihi 10 ribu kasus yang tersebar di semua Provinsi di Indonesia. Kabupaten Tabalong juga menjadi salah satu kabupaten yang tidak luput dari sebaran virus yang berukuran 0,1 mikronmeter ini.
COVID-19 sangat mudah menular dan menyebar, karena selain ukurannya yang tidak terlihat kasat mata, juga orang yang terkena virus ini hanya menunjukkan gejala sakit batuk yang biasa, atau bahkan tidak bergejala. Oleh karena itu, pembatasan sosial (jaga jarak fisik) adalah hal paling utama untuk memutus rantai penularan COVID-19 selain menjaga daya tahan tubuh dan kebersihan diri (cuci tangan pakai sabun, menggunakan masker, tidak menyentuh muka, dll).
Upaya pembatasan sosial di masyarakat terlihat sangat sulit mencapai kata efektif dan berhasil menurunkan kurva penyebaran COVID-19 ini. Hal ini terlihat dari terus meningkatnya tanjakan kurva kasus positif di Indonesia yang semakin hari semakin banyak. Memang ini menunjukkan adanya keberhasilan dari tracking dan rapid test yang dilakukan Pemerintah. Akan tetapi, tetap menjadi masalah yang serius karena peningkatan kasus sekitar 300-400 kasus positif per hari tidak hanya membawa dampak kesehatan masyarakat, tetapi juga dampak sosial dan ekonomi yang semakin berkepanjangan.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan masyarakat masih sulit menerapkan pembatasan sosial dengan disiplin yaitu kurangnya pemahaman akan maksud dan tujuan pembatasan sosial serta kondisi yang memaksa masyarakat untuk tetap melakukan pemenuhan kebutuhan sosial dan ekonominya di luar rumah dan berkerumun.
Anak muda atau yang sekarang disebut generasi millenial adalah kelompok masyarakat yang mayoritas memiliki tingkat pengetahuan yang tinggi (sarjana/diploma), sehingga seharusnya memiliki pemahaman yang baik tentang COVID-19, pencegahan dan penularannya, serta paham maksud dan tujuan dari pembatasan sosial. Apalagi dengan akses media sosial yang affordable (terjangkau) oleh anak muda membuat mereka tidak mungkin tidak mengerti akan pentingnya pembatasan sosial sebagai upaya kunci pemutusan rantai penularan COVID-19.
Peran anak muda adalah sebagai promotor pencegahan dan penanggulangan COVID-19 di masyarakat yang sangat beragam (umur, pekerjaan, dan pengetahuan/pendidikan). Anak muda seharusnya menjadi contoh (roll model) pelaksanaan pembatasan sosial yang efektif di masyarakat. Beberapa contoh hal sederhana yang bisa dilakukan anak muda sekarang adalah dengan belajar di rumah, berkarya dan berdoa di rumah. Jangan sampai sebagai generasi penerus bangsa, malah menjadi contoh yang buruk di masyarakat dengan berkumpul dan berkerumun (hang out) di cafe, warung, atau tempat-tempat nongkrong lainnya.
Data memang menunjukkan angka kematian tertinggi pada kelompok usia tua dengan penyakit penyerta. Bukan tetapi, anak muda menjadi aman untuk berkerumun dan tidak mematuhi protokol pembatasan sosial dan pencegahan COVID-19. Data juga menyebutkan angka kasus positif COVID-19 tertinggi pada usia kerja yaitu 20-35 tahun. Walaupun banyak yang tanpa gejala (terlihat sehat), jangan berpikir bahwa tidak perlu pembatasan sosial dan tidak perlu menggunakan masker. Bisa saja mereka membawa virus (carier) bagi masyarakat lingkungan sekitar mereka, minimal orang tua atau keluarga mereka.
Selain itu, peran anak muda juga sebagai agent of change, pembawa perubahan untuk pencegahan dan penanggulangan COVID-19 di masyarakat. Beberapa peran sebagai agent of change misalnya menjadi duta kesehatan yang mengedukasi keluarga dan lingkungan sekitar, atau minimal melalui media sosial untuk menangkal berita-berita hoaks yang banyak beredar di masyarakat. Peran lain misalnya melakukan penggalangan dana dengan kreatif dan inovatif untuk membantu masyarakat terdampak COVID-19 di daerah mereka.
Anak muda memiliki keunggulan dalam bidang IPTEKS khususnya dunia digital yang mana di era Revolusi Industri 4.0 ini sangat bergantung dengan digitalisasi. Anak muda juga memiliki semangat dan jiwa yang kuat dengan fisik yang prima. Sehingga cepat bisa beradaptasi melakukan hal-hal positif dan memiliki daya tangkap yang cepat dalam memahami situasi dan kondisi yang ada di masyarakat. Potensi yang dimiliki anak muda seharusnya dapat dimaksimalkan dalam kondisi pandemi ini, karena lebih dari seperempat penduduk Indonesia adalah anak muda (16-30 tahun) dan jumlah penduduk usia produktif melebihi 68% dari total penduduk di Indonesia. *