Dibantu sang istri, Egu (40) mengolah tanah liat menjadi bata merah dari bata merah ini mereka terus merajut asanya.
Sebagai seorang perantuan dari Bojonegoro, Ia dan istri serta dua orang anaknya tidak boleh berleha-leha tidak juga membayangkan kehidupan yang serba nyaman, kehidupannya dimulai saat fajar menyingsing.
Usaha Berjalan Secara Alami
Tanah merah di samping gudang batanya siap menanti untuk di olah menjadi bata, tangan kekar hitam legam dengan urat yang menonjol itulah yang akan mengaduk dan mengangkat cetakan bata di areal penjemuran, sang sitri tidak kalah bekerja kerasnya, usai menyiapkan keperluan sarapan pagi Ia langsung membantu sang suami mengolah tanah, tugasnya sederhana tapi tidak semua perempuan sanggup menjalaninya Ia hanya memasukan adonan tanah liat kedalam cetakan bata sepanjang satu meter yang akan diangkat oleh suaminya.
Rutinitas mencetak bata dilakoninya sejak dua tahun silam untuk terus bertahan hidup dan merajut asa masa depan keluarganya, bukan pekerjaan yang ringan baginya diperlukan tenaga yang cukup namun jauh dari kampung halamannya menjadikan apapun kuat dia lakukan.
“ini sudah menjadi kampung halaman kami mas, karena disinilah kami diberi penghidupan” ujarnya dengan nada bersyukur. dalam satu hari Ia dan suaminya biasanya mencetak 500 biji bata.
Tanah yang mereka olah bukanlah tanah mereka sendiri melainkan tanah orang lain yang dengan senang hati bekerja sama dengan mereka, satu bata yang dicetak dan dijualnya, pemilik tanah mendapatkan Rp. 25.- .
satu  bata dijualnya seharga Rp.400.- di gudang dalam satu bulan Egu biasanya membakar bata sebanyak 20.000 sampai 25.000.
Selain Egu ada sekitar tujuh gudang bata di desa Mangkupum Kecamatan Muara Uya, mereka rata-rata adalah warga pendatang yang sudah lama menetap disana, kini di desa mangkupum terkenal sebagai desa penghasil bata merah pembelinyapun bukan hanya warga Tabalong saja tapi dari luar daerah seperti dari HSU, HST dan daerah sekitarnya.
Pembuat bata tumbuh secara alami, karena ada peluang mereka secara naluriah bisnis pun bertahan, kehadiran pemerintah membina usaha mereka belum dirasakan, kondisi seperti ini hampir terjadi disemua sektor usaha kecil tapi Egu dan kawan-kawannya perlu terus hidup mereka tetap membuat bata dengan cara turun temurun wajar bila produk-produk yang dihasilkan selalu kalah bersaing dengan pengusaha yang dibina oleh negaranya (kts)