“Wish You All The Best. Tora Borneo, Sugi Ashary, rangga aster borneo, Dodik gokik, Andre JR and Hendri calo, mengucapkan happay berdaya beat x Nina aja. Sukses jaya selalu. Are you ready!!!”
Suara sang DJ menggema menyapa pengunjung live music di Mal Tayyibah. Hentakkan musik menguat. Tubuh-tubuh gemulai semakin bergetar, kepala digeleng-gelengkan, kaki-kaki menghentak lantai.
Jadilah mal yg semula didesain sebagai pusat grosir di terminal Mabuun, Kecamatan Murung Pudak, tanjung ini sebagai tempat bergelimang wanita muda dan laki-laki dari beragam umur. Mal ini seakan menjadi tempat mempersatukan para penikmat dugem.
Saban malam tempat ini didatangi para pencari hiburan. Puancaknya terjadi pada Rabu malam dan sabtu malam. Tamu yg hadir tidak saja dari Tanjung, tetapi dari kabupaten tetangga, seperti Hulu Sungai Selatan dan Hulu Sungai Utara.
Tempat ini sungguh paradoks. At Tayyibah yang bermakna sadah menjadi tak selaras dengan aktivitas di dalamnya. Sedakah yang lebih dekat kepada aktivitas religius sungguh tidak ditemukan nilai-nilainya di tempat ini. Karaoke, bilyar dan dugem yang tersaji di Mal At Tayyibah lebih dekat kepada aroma kemaksiatan. Seyogyanya Attayyibah ini menjadi sentra transaksi ekonomi kerakyatan, beralih menjadi bisnis penuh tabir.
Di tempat ini tidak sulit jika hendak membeli minuman keras. Semuanya dijual bebas dan dapat diakses oleh anak-anak di bawah umur sekalipun. (kts)